PAPER
TENTANG
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT dan SISTEMATIKA
Di Susun Oleh:
Kelompok IV
1.
INSANUL AKMAL
2.
HONI RISKA PURNAMA
3.
HILWAN ARDANI
PRODI : D-III FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
QAMARUL HUDA
BAGU~PRINGGARATA~LOTENG
2015
BAB I
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Dalam pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat dapat
dilakukan dengan cara deduktif dan induktif.
1.
Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta
menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang
komprehensif.
2.
Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya
masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari
gejala-gejala itu.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan
sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang
saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sila-Sila Pancasila yang
merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis.
Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan
bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila,
yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri
sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat
bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan
demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda
dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme,
rasionalisme, liberalisme, komunisme dan sebagainya.
A.
Landasan Ontologis Pancasila
Ontologi,
menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang
ada,keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika. Bidang
ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan)
manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika. Secara
ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya
untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Dasar
ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat
mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai
dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah
manusia. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
serta yang berkeadilan sosial. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan
Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai
sila-sila Pancasila lainnya. Hubungan
kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila
adalah berupa hubungan sebab-akibat: Negara
sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal
hubungan. Landasan
sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai
sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
B.
Landasan Epistemologis Pancasila
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat,susunan, metode,
dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi
adalah ilmu tentang atau teori terjadinya ilmu atau science of science. Menurut
Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a.
Tentang sumber pengetahuan manusia.
b.
Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia.
c.
Tentang watak pengetahuan manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan
sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Pancasila
sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini
berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi
suatu ideologi. Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas
terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat
dipisahkan dengan dasar ontologisnya.
Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep
dasarnya tentang hakikat manusia. Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber
pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang
sumber pengetahuan Pancasila, susunan Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan, Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam
arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila itu. Susunan
sila-sila pancasila bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal, yang memiliki
arti sebagai berikut:
a.
Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya.
b.
Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila
ketiga, keempat, dan kelima.
c.
Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama, kedua serta
mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima.
d.
Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga
serta mendasari dan menjiwai sila kelima.
e.
Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan
keempat.
C.
Landasan Aksiologis Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu
kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Istilah aksiologi berasal dari
kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran,
ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan,
disukai atau yang baik. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas
tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori.
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori.
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.
BAB II
PANCASILA SEBAGAI SISTEM SISTEMATIKA
A.
Pengertian Nilai, Norma dan Moral
a.
Nilai
Nilai (value dalam Inggris) berasal dari
kata Latin valere yang artinya
kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya
abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau
“kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga
mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan. Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related
science). Sifat dari
suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan
kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan
demikian, Menilai berarti
menimbang, suatu kegiatan
manusia untuk menghubungkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan
itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar
atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah
berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur
jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna,
memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai
bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap
dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud
kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Ada
berbagai macam teori tentang nilai yaitu :
1.
Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam,
yaitu: nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik
dan nilai religi.
2.
Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat
dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
a)
Nilai-nilai kenikmatan:
dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak
mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
b)
Nilai-nilai kehidupan:
dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti
kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
c)
Nilai-nilai kejiwaan: dalam
tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama
sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai
semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai
dalam filsafat.
d)
Nilai-nilai kerokhanian:
dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai
semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)
3.
Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan
kelompok:
a)
Nilai-nilai ekonomis:
ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
b)
Nilai-nilai kejasmanian:
membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
c)
Nilai-nilai hiburan:
nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada
pengayaan kehidupan.
d)
Nilai-nilai sosial: berasal
mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
e)
Nilai-nilai watak:
keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
f)
Nilai-nilai estetis:
nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
g)
Nilai-nilai intelektual:
nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
h)
Nilai-nilai keagamaan
4.
Notonagoro membagi nilai
menjadi tiga macam,, yaitu:
a)
Nilai material, yaitu sesuatu
yang berguna bagi manusia.
b)
Nilai vital, yaitu sesuatu
yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
c)
Nilai kerokhanian, yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi empat
macam:
1.
Nilai kebenaran, yang
bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
2.
Nilai keindahan, atau nilai
estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia.
3.
Nilai kebaikan, atau nilai
moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia.
4.
Nilai religius, yang
merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber
kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dalam filsafat
Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praktis.
1.
Nilai dasar, adalah
asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu
yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari
Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan, dan nilai keadilan.
2.
Nilai instrumental, adalah
nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan
terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3.
Nilai praksis, adalah nilai
yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu
ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam
masyarakat.
Nila-nilai dalam
Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang
mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan
masyarakat, berbansa, dan bernegara. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan
pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu
bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan
dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai
Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia
sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia.
b.
Norma
Kesadaran manusia yang
membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap
suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal
yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan),
horizontal (masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya).
Norma adalah perwujudan
martabat manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan
suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk
dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama,
norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki
kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.
c.
Moral
Moral berasal dari kata mos
(mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat
atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang
pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku
dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau
prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji
dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma
yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
B. Pancasila
Sebagai Nilai Dasar Fundamental
Pancasila sebagai dasar filsafat
negara serta sebagai filsafat hidup
bangsa Indonesia pada hakikatnya
merupakan suatu nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sila-sila
Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis. Dalam pengertian itu maka Pancasila merupakan suatu
sistem filsafat sehingga kelima silanya memiliki esensi makna yang utuh.
Dasar pemikiran filosofisnya adalah sebagai berikut : Pancasila
sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mempunyai makna bahwa
dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus
berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan
Keadilan. Titik tolaknya pandangan itu adalah negara adalah suatu persekutuan
hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan manusia. Nilai-nilai
obyektif Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya,
hakikatnya, maknanya yangterdalam menunjukkan
adanya sifat-sifat yang umum, universal dan abstrak, karena merupakan
suatu nilai.
b.
Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa
Indonesia dan mungkin juga pada bangsa
lain dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan
keagamaan.
c.
Pancasila yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagai
pokok kaidah negara yang fundamental sehingga merupakan suatu sumber hukum
positif di Indonesia. Oleh karena itu, dalam hierarkhi tata tertib hukum
Indonesia berkedudukan sebagai tertib
hukum tertinggi dan tidak dapat diubah
secara hukum sehingga terlekat pada kelangsungan hidup negara.
Sebaliknya
nilai-nilai subyektif Pancasila dapat
diartikan bahwa keberadaannya bergantung dan atau terlekat pada bangsa
Indonesia sendiri. Hal itu dijelaskan sebagai berikut:
a.
Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa
Indonesia sebagai kausa materialis. Nilai-nilai itu sebagai hasil pemikiran,
penilaian kritik serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia.
b.
Nilai-nilai Pancasila merupakan
filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga merupakan jati diri
bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan
dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.
Nilai-nilai Pancasila didalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai
kerokhanian yaitu nilai-nilai kebenaran,
keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, estetis dan religius yang
manifestasinya sesuai dengan budi nurani
bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa.
Nilai-nilai
Pancasila tersebut bagi bangsa menjadi
landasan, dasar serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam kehidupan kenegaraan. Dengan kata lain, bahwa
nilai-nilai Pancasila merupakan das sollen atau cita-cita tentang kebaikan yang
harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan atau das sein.
C.
Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik
Indonesia merupakan nilai yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini dikarenakan
apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja ditemukan
dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari
masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat diputarbalikkan letak
dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut ini kita uraikan :
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan
menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini
terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha esa.
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan
terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia)
bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan
keimanan dan kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29
UUD. Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang
meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan (atheisme).
2.
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu mahluk yang berbudaya
dengan memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang
mendudukkan manusia pada tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari
nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama berarti hakikat dan
sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabat. Adil berarti wajar yaitu
sepadan dan sesuai dengan hak dan
kewajiban seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun, berbudi luhur, dan
susila, artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa
berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan
demikian, sila ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang
didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma
dan kesusilaan umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun
terhadap alam dan hewan.
Hakikat pengertian diatas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea
Pertama :”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ...”. Selanjutnya dapat dilihat
penjabarannnya dalam Batang Tubuh UUD.
3.
Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah.
Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka
ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini
mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan
keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh
wilayah Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan
kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan
Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan
bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Persatuan Indonesia adalah perwujudan
dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, paham kebangsaan
Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai bangsa lain. Nasionalisme
Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta keturunan. Hal ini sesuai
dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam
Batang Tubuh UUD 1945.
4.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang
berdiam dalam satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa
bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi
tertinggi dalam hirarki kekuasaan. Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan
ratio atau pikiran yang sehat dengan
selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan
dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan
itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara
khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal
berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat dan mufakat.
Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tat cara mengusahakan turut
sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga
perwakilan.
Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam
melaksanakan tugas kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sila ini merupakan sendi asas kekeluargaan
masyarakat sekaligus sebagai asas
atau prinsip tata pemerintahan Indonesia
sebagaimana dinyatakan dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi :”... maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ...”
5.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di
segala bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat
Indonesia berarti untuk setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia.
Pengertian itu tidak sama dengan
pengertian sosialistis atau komunalistis karena keadilan sosial pada
sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia sebagai pribadi
dan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya meliputi:
a.
Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam
bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta
kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiaban.
b.
Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara, dalam
masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara
c.
Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau
dengan lainnya secara timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan
dan keselarasan diantara keduanya sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai.
Hakikat sila ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :”dan perjuangan
kemerdekaan kebangsaan Indonesia Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur”.
PAPER
TENTANG
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT dan SISTEMATIKA
Di Susun Oleh:
Kelompok IV
1.
INSANUL AKMAL
2.
HONI RISKA PURNAMA
3.
HILWAN ARDANI
PRODI : D-III FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
QAMARUL HUDA
BAGU~PRINGGARATA~LOTENG
2015
BAB I
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Dalam pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat dapat
dilakukan dengan cara deduktif dan induktif.
1.
Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta
menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang
komprehensif.
2.
Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya
masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari
gejala-gejala itu.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan
sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang
saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sila-Sila Pancasila yang
merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis.
Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan
bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila,
yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri
sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat
bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan
demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda
dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme,
rasionalisme, liberalisme, komunisme dan sebagainya.
A.
Landasan Ontologis Pancasila
Ontologi,
menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang
ada,keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika. Bidang
ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan)
manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika. Secara
ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya
untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Dasar
ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat
mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai
dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah
manusia. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
serta yang berkeadilan sosial. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan
Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai
sila-sila Pancasila lainnya. Hubungan
kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila
adalah berupa hubungan sebab-akibat: Negara
sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal
hubungan. Landasan
sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai
sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
B.
Landasan Epistemologis Pancasila
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat,susunan, metode,
dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi
adalah ilmu tentang atau teori terjadinya ilmu atau science of science. Menurut
Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a.
Tentang sumber pengetahuan manusia.
b.
Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia.
c.
Tentang watak pengetahuan manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan
sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Pancasila
sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini
berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi
suatu ideologi. Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas
terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat
dipisahkan dengan dasar ontologisnya.
Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep
dasarnya tentang hakikat manusia. Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber
pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang
sumber pengetahuan Pancasila, susunan Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan, Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam
arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila itu. Susunan
sila-sila pancasila bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal, yang memiliki
arti sebagai berikut:
a.
Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya.
b.
Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila
ketiga, keempat, dan kelima.
c.
Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama, kedua serta
mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima.
d.
Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga
serta mendasari dan menjiwai sila kelima.
e.
Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan
keempat.
C.
Landasan Aksiologis Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu
kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Istilah aksiologi berasal dari
kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran,
ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan,
disukai atau yang baik. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas
tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori.
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori.
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.
BAB II
PANCASILA SEBAGAI SISTEM SISTEMATIKA
A.
Pengertian Nilai, Norma dan Moral
a.
Nilai
Nilai (value dalam Inggris) berasal dari
kata Latin valere yang artinya
kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya
abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau
“kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga
mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan. Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related
science). Sifat dari
suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan
kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan
demikian, Menilai berarti
menimbang, suatu kegiatan
manusia untuk menghubungkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan
itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar
atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah
berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur
jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna,
memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai
bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap
dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud
kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Ada
berbagai macam teori tentang nilai yaitu :
1.
Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam,
yaitu: nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik
dan nilai religi.
2.
Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat
dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
a)
Nilai-nilai kenikmatan:
dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak
mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
b)
Nilai-nilai kehidupan:
dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti
kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
c)
Nilai-nilai kejiwaan: dalam
tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama
sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai
semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai
dalam filsafat.
d)
Nilai-nilai kerokhanian:
dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai
semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)
3.
Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan
kelompok:
a)
Nilai-nilai ekonomis:
ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
b)
Nilai-nilai kejasmanian:
membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
c)
Nilai-nilai hiburan:
nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada
pengayaan kehidupan.
d)
Nilai-nilai sosial: berasal
mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
e)
Nilai-nilai watak:
keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
f)
Nilai-nilai estetis:
nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
g)
Nilai-nilai intelektual:
nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
h)
Nilai-nilai keagamaan
4.
Notonagoro membagi nilai
menjadi tiga macam,, yaitu:
a)
Nilai material, yaitu sesuatu
yang berguna bagi manusia.
b)
Nilai vital, yaitu sesuatu
yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
c)
Nilai kerokhanian, yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi empat
macam:
1.
Nilai kebenaran, yang
bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
2.
Nilai keindahan, atau nilai
estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia.
3.
Nilai kebaikan, atau nilai
moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia.
4.
Nilai religius, yang
merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber
kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dalam filsafat
Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praktis.
1.
Nilai dasar, adalah
asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu
yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari
Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan, dan nilai keadilan.
2.
Nilai instrumental, adalah
nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan
terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3.
Nilai praksis, adalah nilai
yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu
ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam
masyarakat.
Nila-nilai dalam
Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang
mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan
masyarakat, berbansa, dan bernegara. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan
pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu
bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan
dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai
Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia
sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia.
b.
Norma
Kesadaran manusia yang
membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap
suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal
yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan),
horizontal (masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya).
Norma adalah perwujudan
martabat manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan
suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk
dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama,
norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki
kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.
c.
Moral
Moral berasal dari kata mos
(mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat
atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang
pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku
dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau
prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji
dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma
yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
B. Pancasila
Sebagai Nilai Dasar Fundamental
Pancasila sebagai dasar filsafat
negara serta sebagai filsafat hidup
bangsa Indonesia pada hakikatnya
merupakan suatu nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sila-sila
Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis. Dalam pengertian itu maka Pancasila merupakan suatu
sistem filsafat sehingga kelima silanya memiliki esensi makna yang utuh.
Dasar pemikiran filosofisnya adalah sebagai berikut : Pancasila
sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mempunyai makna bahwa
dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus
berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan
Keadilan. Titik tolaknya pandangan itu adalah negara adalah suatu persekutuan
hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan manusia. Nilai-nilai
obyektif Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya,
hakikatnya, maknanya yangterdalam menunjukkan
adanya sifat-sifat yang umum, universal dan abstrak, karena merupakan
suatu nilai.
b.
Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa
Indonesia dan mungkin juga pada bangsa
lain dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan
keagamaan.
c.
Pancasila yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagai
pokok kaidah negara yang fundamental sehingga merupakan suatu sumber hukum
positif di Indonesia. Oleh karena itu, dalam hierarkhi tata tertib hukum
Indonesia berkedudukan sebagai tertib
hukum tertinggi dan tidak dapat diubah
secara hukum sehingga terlekat pada kelangsungan hidup negara.
Sebaliknya
nilai-nilai subyektif Pancasila dapat
diartikan bahwa keberadaannya bergantung dan atau terlekat pada bangsa
Indonesia sendiri. Hal itu dijelaskan sebagai berikut:
a.
Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa
Indonesia sebagai kausa materialis. Nilai-nilai itu sebagai hasil pemikiran,
penilaian kritik serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia.
b.
Nilai-nilai Pancasila merupakan
filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga merupakan jati diri
bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan
dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.
Nilai-nilai Pancasila didalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai
kerokhanian yaitu nilai-nilai kebenaran,
keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, estetis dan religius yang
manifestasinya sesuai dengan budi nurani
bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa.
Nilai-nilai
Pancasila tersebut bagi bangsa menjadi
landasan, dasar serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam kehidupan kenegaraan. Dengan kata lain, bahwa
nilai-nilai Pancasila merupakan das sollen atau cita-cita tentang kebaikan yang
harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan atau das sein.
C.
Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik
Indonesia merupakan nilai yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini dikarenakan
apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja ditemukan
dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari
masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat diputarbalikkan letak
dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut ini kita uraikan :
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan
menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini
terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha esa.
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan
terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia)
bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan
keimanan dan kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29
UUD. Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang
meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan (atheisme).
2.
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu mahluk yang berbudaya
dengan memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang
mendudukkan manusia pada tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari
nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama berarti hakikat dan
sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabat. Adil berarti wajar yaitu
sepadan dan sesuai dengan hak dan
kewajiban seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun, berbudi luhur, dan
susila, artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa
berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan
demikian, sila ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang
didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma
dan kesusilaan umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun
terhadap alam dan hewan.
Hakikat pengertian diatas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea
Pertama :”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ...”. Selanjutnya dapat dilihat
penjabarannnya dalam Batang Tubuh UUD.
3.
Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah.
Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka
ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini
mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan
keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh
wilayah Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan
kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan
Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan
bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Persatuan Indonesia adalah perwujudan
dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, paham kebangsaan
Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai bangsa lain. Nasionalisme
Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta keturunan. Hal ini sesuai
dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam
Batang Tubuh UUD 1945.
4.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang
berdiam dalam satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa
bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi
tertinggi dalam hirarki kekuasaan. Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan
ratio atau pikiran yang sehat dengan
selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan
dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan
itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara
khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal
berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat dan mufakat.
Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tat cara mengusahakan turut
sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga
perwakilan.
Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam
melaksanakan tugas kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sila ini merupakan sendi asas kekeluargaan
masyarakat sekaligus sebagai asas
atau prinsip tata pemerintahan Indonesia
sebagaimana dinyatakan dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi :”... maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ...”
5.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di
segala bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat
Indonesia berarti untuk setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia.
Pengertian itu tidak sama dengan
pengertian sosialistis atau komunalistis karena keadilan sosial pada
sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia sebagai pribadi
dan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya meliputi:
a.
Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam
bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta
kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiaban.
b.
Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara, dalam
masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara
c.
Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau
dengan lainnya secara timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan
dan keselarasan diantara keduanya sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai.
Hakikat sila ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :”dan perjuangan
kemerdekaan kebangsaan Indonesia Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar